Pangan Lokal Papua sebagai Kearifan Budaya
>> Sabtu, 20 Oktober 2007
MASYARAKAT Papua mengenal sejumlah makanan lokal, seperti sagu, ubi jalar, keladi, singkong, dan pisang. Tetapi hanya dua jenis makanan yang begitu populer, yakni sagu bagi masyarakat pantai dan ubi jalar untuk masyarakat pedalaman. Dari hari ke hari makanan lokal itu diabaikan di mana pemerintah mulai mensosialisasikan pola makan beras. Runyamnya, budidaya padi di kalangan petani lokal tidak bisa dikembangkan.
DIREKTUR Lembaga Pengembangan Penelitian Universitas Cenderawasih (Uncen) Dr Josh Mansoben di Jayapura pekan lalu mengatakan, hasil penelitian sejumlah dosen Uncen menunjukkan, kecenderungan masyarakat Papua mengonsumsi beras terus meningkat setiap tahun dibanding makanan lokal. Bahkan, ada sebagian penduduk Papua tidak lagi berupaya menanam pangan lokal, dengan alasan akan membeli beras.
Padahal, pangan lokal seperti ubi jalar, keladi, pisang, singkong dan sagu sudah dikenal masyarakat sejak nenek moyang. Makanan ini dari turun-temurun dikenal orang Papua. Bahkan, sagu memiliki nilai budaya dan tradisi yang sangat tinggi karena mengandung unsur mistis dan magis.
Data Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan 1996-1998, produksi ubi jalar di Papua sebanyak 435.000 ton. Tetapi jumlah ini terus menurun setiap tahun. Pada tahun 1999-2001 hanya mencapai 340.000 ton. Tahun 2003 lebih parah lagi dengan jumlah produksi hanya Rp 250.000 ton. Produksi ubi jalar terbesar di daerah Pegunungan Tengah (Paniai, Puncak Jaya, Jayawijaya, Tolikara, Yahokimo, Pegunungan Bintang, dan Nabire).
Masyarakat Pegunungan Tengah terutama di Lembah Baliem (Jayawijaya) menyebut ubi jalar dengan sebutan hipere. Penduduk suku Kurima (Jayawijaya) menyebut supuru, dan penduduk di Tiom menyebut mbi. Ubi jalar asal Baliem, termasuk jenis raksasa dengan panjang 2 meter dan garis tengah mencapai 30 cm, dan beratnya mencapai 15 kg.
Orang pedalaman mengenal ratusan jenis ubi jalar sesuai dengan nama yang diberikan sendiri. Terkadang dalam satu bedeng berukuran 10 meter x 20 meter ditanam lebih dari 20 jenis ubi jalar. Penanaman dilakukan bervariasi. Bila larik pertama ditanami jenis ubi jalar jenis saporeken, musan, sapoleleke, dan pilhabaru, maka larik berikutnya ditanami jenis lain. Variasi jenis tanaman ini dimaksudkan agar tidak bosan mengonsumsi satu jenis ubi jalar tertentu. Karena rasa dan aroma setiap ubi jalar berbeda.
Ubi jalar ini mendominasi seluruh areal ladang masyarakat di Jayawijaya. Di antara tanaman ubi jalar, ditanami sayur kol dan wortel. Biasanya masyarakat Pegunungan Tengah menanam ubi jalar dalam bentuk bedeng-bedeng dengan jarak 1 meter x 1 meter.
Cara penanamannya pun tidak memerlukan perawatan khusus. Agar isi ubi jalar bisa besar diperlukan rambatan dan intensitas cahaya matahari cukup tinggi agar proses fotosintesis dapat berlangsung aman.
Pengetahuan masyarakat Pegunungan Tengah mengenai manfaat ubi termasuk tinggi. Bagi anak-anak atau bayi biasanya diberikan jenis walelum karena teksturnya halus, tidak berserat dan mengandung betakarotein tinggi. Jenis helalekue dan arugulek dikonsumsi oleh orang dewasa, dan untuk makanan ternak (babi) biasanya diberikan jenis musan, yang tidak bercitarasa dan kulitnya tampak pecah-pecah.
"Di sini ada kearifan budaya lokal Papua yang tidak begitu saja digantikan oleh beras. Makanan–makanan tradisional ini memiliki legenda, adat dan budaya yang semestinya harus dipertahankan dan dilestarikan, di samping memasukkan jenis makanan dari luar," kata Mansoben.
Penelitian Uncen itu menyebutkan, di Papua terdapat 681 jenis umbi-umbian. Dari jumlah itu sekitar 15 persen di antaranya setelah diteliti ternyata memiliki sejumlah kesamaan. Penelitian itu terfokus pada jenis daun, tulang daun, warna kulit, dan daging umbi.
Ubi jalar dapat dipanen antara 6 dan 8 bulan, tergantung jenis tanah, sinar matahari, dan jenis ubi. Tanah berhumus dengan tingkat kelembaban cukup tinggi, mempercepat ubi berisi dan dalam waktu enam bulan dapat dipanen. Masyarakat Pegunungan Tengah hanya mengonsumsi ubi jalar dengan cara direbus, dibakar, dan sebagian dijemur di sinar matahari kemudian disimpan. Belum ada yang mencoba mengelola ubi jalar untuk bahan kue.
Ubi jalar termasuk tidak tahan terhadap proses pembusukan dan ulat ubi. Makin lama disimpan citarasa dan aromanya terus menurun. Malah bila disimpan di tempat yang lembab menjadi tumbuh, berkecambah. Karena itu, ribuan ton ubi jalar milik petani di Pegunungan Tengah sering rusak dan membusuk. Ubi jalar hanya bertahan 3-4 bulan jika disimpan di tempat dengan suhu udara 20-30 derajat Celsius.
Keladi, singkong, dan pisang hanya sebagai makanan pengganti ubi jalar bagi masyarakat Pegunungan Tengah dan sagu bagi masyarakat pantai (Jayapura, Biak, Sorong, Manokwari, dan Mimika). Masyarakat pantai pun sebagian mengonsumsi ubi jalar, keladi dan pisang, tetapi sagu jarang dikonsumsi masyarakat Pegunungan Tengah.
PAPUA adalah salah satu provinsi di Indonesia dengan potensi sagu terbesar, bahkan terluas di seluruh dunia. Luas lahan sagu 771.716 hektar atau sekitar 85 persen dari luas hutan sagu nasional. Wilayah sebarannya di Waropen Bawah, Sarmi, Asmat, Merauke, Sorong, Jayapura, Manokwari, Bintuni, Inawatan, dan daerah yang belum terinventarisasi.
Di Asmat sagu sebagai makanan khas pemberian nenek moyang. Pada zaman dulu, menokok sagu harus diawali dengan upacara adat agar nenek moyang yang menjaga sagu itu dapat memberikan sari yang bagus dan dapat dikonsumsi untuk pertumbuhan dan kesehatan seluruh isi keluarga.
Data dari Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kabupaten Jayapura, luas lahan sagu di Jayapura 38.670 ha, terdiri dari 14.000 ha areal budidaya dan sisanya areal hutan sagu alam. Dari areal ini diperoleh tepung sagu sebanyak 6.546 ton, sebanyak 62,98 persen di antaranya dijadikan stok pangan penduduk kabupaten Jayapura, sisanya untuk bahan makanan penduduk kota Jayapura. Produksi sagu di Papua diperkirakan 1,2 juta ton setiap tahun.
Sementara itu, sekitar 4,8 juta ton sagu terbuang cuma-cuma karena tidak difungsikan. Pokok sagu dibiarkan sampai tua karena pengetahuan mengenai pengelolaan sagu masih terbatas, proses mengambil sari sagu butuh waktu lama dan butuh tenaga yang kuat.
Padahal, sagu tidak hanya dimanfaatkan sebagai sumber karbohidrat, tetapi juga digunakan untuk produk industri modern, seperti proses pembuatan kayu lapis, sohun, kerupuk, kue kering, jeli. Di Jepang pati sagu setelah dicampur dengan bahan tertentu digunakan untuk bahan baku plastik daur ulang, lampu komputer, dan layar flat monitor TV.
Upaya memanfaatkan sagu Papua pernah dilakukan pemda setempat dengan mendatangkan investor. Misalnya, PT Sagindo Sari Lestari yang mengelola ribuan hektar hutan sagu di Bintuni tahun 1998. Namun, perusahaan tersebut bangkrut karena nilai jual tidak setara dengan biaya produksi.
Ini terjadi karena perusahaan itu hanya mengelola sagu untuk kebutuhan kayu lapis di salah satu daerah di Jawa Timur, yang cukup jauh dari Papua sehingga dari sisi harga kurang menguntungkan. Sementara itu, mengekspor sagu waktu itu pun tidak mudah karena harus melalui proses izin yang berbelit-belit dan merugikan perusahaan itu sendiri.
KETUA Umum Himpunan Kerukunan Tani dan Nelayan Nasional Siswono Yudhohusodo saat berceramah di Koya Timur, Jayapura, beberapa waktu lalu, mengatakan, pola makan beras yang disosialisasikan pemerintah telah merusak sejumlah ketahanan pangan nasional. Masyarakat Madura dan NTT yang mengonsumsi jagung, masyarakat Papua dan Maluku yang mengonsumsi sagu dan umbi-umbian telah beralih ke beras.
Kondisi ini sangat memprihatinkan. Proses itu telah menghilangkan pola makan makanan lokal, yang telah dicanangkan sebagai ketahanan pangan nasional. Ada pemahaman yang keliru, beras adalah makanan orang modern, makanan pejabat, dan orang terkemuka. Mengonsumsi beras status sosial akan meningkat. Makanan lokal lain seperti ubi, sagu, pisang dan jagung adalah makanan orang miskin, tertinggal, makanan ternak.
Pandangan ini ditunjang dengan perilaku sejumlah pejabat dan orang asli Papua. Sebelum menjadi pejabat atau orang terkenal, mereka mengonsumsi umbi-umbian dan sagu, setelah menjadi pegawai negeri dan pejabat, pola hidup mereka berubah. Mereka lebih sering makan di restoran dan warung makan dibanding menikmati masakan khas Papua, seperti sagu dan umbi-umbian.
Beras sebetulnya dikenal masyarakat Papua sejak tahun 1963 ketika sebagian penduduk Indonesia dari suku lain mulai berdomisili di daerah itu, sebagai tenaga relawan, TNI, dan staf pemerintahan. Mereka datang ke Papua membawa beras sebagai bekal. Hanya penduduk pesisir Merauke yang sudah mengenal beras melalui para misionaris sejak tahun 1800-an. Sejak saat itu pula petani Merauke memiliki keterampilan budidaya padi sampai hari ini. (Sumber: www.kompas.com)
0 comments:
Posting Komentar