Eksotisme Indonesia Timur yang Dilupakan
>> Sabtu, 20 Oktober 2007
SETELAH 45 menit mengudara meninggalkan Biak, pemandangan di bawah terlihat gugusan pulau-pulau karang berwarna toska. Warnanya muncul dari permukaan air laut yang tenang. Di antara gugusan pulau itu ada juga hutan-hutan kecil di tengahnya. Lima belas menit kemudian, tampak bentangan pegunungan dan perbukitan dengan rimba raya yang lebat.
Terlihat juga jalan setapak yang memanjang mengitari rimba, meliuk-liuk dengan kelokan yang menakjubkan, sampai lalu lenyap ke arah pegunungan. Lalu bukit-bukit yang seluruhnya adalah padang rumput. Bukit-bukit yang bergelombang mengepung Danau Sentani. Di antara lereng bukit-bukit itu, juga di pesisir pulau-pulau kecil di tengah danau, tampak satu dua rumah penduduk, menyelip tenang di antara rindang pepohonan besar di sekelilingnya. Danau Sentani tentu tidaklah seluasnya Danau Toba atau Singkarak.
Namun, danau seluas 9.630 hektare itu tampak menyimpan pesonanya sendiri. Di antara pegunungan, bukit-bukit berpadang rumput dan suasananya yang begitu tenang dengan permukaan airnya yang tampak bening, Danau Sentani seakan sebuah telaga yang berada di tengah perbukitan dan hutan yang masih alami.
Karena mungkin letaknya yang tak jauh dari Danau Sentani, bandara yang menjadi pintu gerbang menuju Jayapura pun di beri nama Sentani. Di Bandara Sentani, tak usahlah tersenyum atau heran membaca peringatan yang ditempelkan di mana-mana, "Dilarang Makan Pinang".
Orang Papua memang memiliki kebiasaan makan pinang dan meludahkan airnya yang berwana merah itu di mana saja. Jadi, bisa dimengerti untuk siapa larangan itu. Dan karena itu, jika Anda seorang perokok, tenang saja. Nyalakan saja, karena memang inilah mungkin satu-satunya bandara yang tidak melarang Anda merokok!
Bandara Sentani terletak sekira 33 km dari Jayapura yang bisa ditempuh dengan memakan waktu 1,5 jam perjalanan dengan menggunakan taksi atau angkutan umum, melewati jalan beraspal mulus di antara tebing-tebing perbukitan, hutan-hutan kecil, dan tepian Danau Sentani. Dalam perjalanan inilah, kita bisa lebih dekat menikmati pemandangan di sekitar danau yang indah tersebut.Sayangnya, tak ada satu pun fasilitas pariwisata. Sekeliling danau, hanya berupa pepohonan dan semak belukar dan rawa-rawa.
Beberapa kilo meter menjelang memasuki Kota Jayapura, jalan kembali menurun, melewati Entrop dan Abepura, dua kota kecil yang masih termasuk ke dalam wilayah administratif Kota Jayapura. Akan terlewati pula Taman Budaya Papua, tempat di mana terdapat bangunan-bangunan rumah adat. Di tempat ini setiap tahun berlangsung Pesta Budaya Papua. Sebuah pesta budaya yang menampilkan seluruh potensi budaya setiap kabupaten di Papua yang diwakili oleh setiap suku yang ada.
Sebagai catatan, di Papua terdapat sekira 268 suku dengan berbagai bahasa, seni, dan adat-istiadatnya. Sayang, pesta budaya tahunan yang diselenggarakan setiap bulan Agustus ini, kurang tergarap sebagai sebuah even pariwisata.
Di taman budaya ini juga terdapat sebuah museum budaya yang menyimpan berbagai benda-benda berserah erat kaitannya dengan budaya Papua.
Letak kota ini memang menarik. Selain letaknya yang tak jauh dari perbatasan dengan Papua Niugini, Jayapura terletak di antara topografi yang berbukit-bukit. Di antara celah pegunungan yang menghadap ke arah Teluk Yos Sudarso dan Teluk Yotefa, Kota Jayapura seakan berada dalam sebuah ruang tapal kuda, dengan kedua sisinya yang ber-ada di ketinggian.
Di atas ketinggian itu, kita tak hanya disuguhi bagian kota yang berada di tepi pantai. Tapi juga hamparan Samudra Pasifik yang berair biru, jernih, dan seolah tak berombak.
Sejarah kota ini pun tak kalah uniknya. Jayapura adalah kota yang yang tak bisa dipisahkan dari kecamuk PD II. Di kota inilah Jenderal Mc.Arthur pernah mendarat sebelum meneruskan penyerbuannya mengusir Jepang dari kawasan Pasifik. Di Abepura, jejak bersejarah itu diabadikan dalam bentuk sebuah tugu peringatan, termasuk tugu pendaratan Jepang.
Sebelum PD II, ketika masih dalam kekuasaan kolonialisme Belanda, kota ini diberi nama "Hollandia", yang berarti daerah yang berbukit-bukit dan berteluk. Namun setelah berada dalam pemerintahan RI tahun 1963, kota ini berganti nama menjadi "kota baru", sampai kemudian pada tahun 1969 berganti lagi menjadi Sukarnopura, hingga sejak tahun 1975 diubah menjadi Jayapura, sampai sekarang.
Sebelum kawasan ini menjadi kota, orang menyebutnya dengan nama "Port Numbay". Meski kondisi infrastrukturnya yang terkesan kurang memadai, Jayapura sebagai sebuah tempat bagi perjalanan wisata menyuguhkan panorama alamnya yang elok.
Tak hanya Danau Sentani, melainkan juga Pantai Base G di Tanjung Swaja, di situ terdapat lukisan dinding karang peninggalan prasejarah. Atau, berdirilah di pusat kota, maka akan terasa bagaimana kita dikepung oleh rumah dan bangunan-bangunan yang terletak di ketinggian bukit. Bangunan dan rumah-rumah itu, seakan menempel di seluruh dinding bukit. Topografi Jayapura membuat arsitektur ruang kota ini memiliki ciri khasnya yang menarik.
Selain itu, berjalan-jalan sepanjang Kota Jayapura, terutama sore hari, kita akan bisa menyaksikan kehidupan warga kotanya yang menunjukkan keberagaman yang berbaur secara menarik.
Tak hanya warna kulit antara penduduk asli dan para pendatang, tapi keberagaman di antara para penduduk pribumi sendiri yang terdiri dari sekira 268 suku yang berbeda bahasa dan budayanya.
Meski pun di tengah sebuah pulau terdapat salib berukuran besar di puncak bukit yang menghadap ke laut, yang penuh lampu jika malam hari, namun di Jayapura, kita akan dengan mudah menemukan para perempuan-perempuan berjilbab. Demikian pula ketika waktu salat, masjid-masjid semarak mengumandangkan adzan dan lantunan Alquran.
Akomodasi di kota ini menyediakan hotel berbagai kelas, termasuk yang bertaraf internasional. Untuk transportasi, tersedia berbagai kendaraan carteran, atau angkutan kota yang disebut dengan taksi.
Meski di Jayapura juga terdapat rumah makan Padang, gudeg Solo, pecel lele, atau bakso, tapi jangan berharap bahwa harganya akan sama dengan harga di Pulau Jawa. Paling tidak, inilah yang dialami penulis ketika makan bersama penyair Ahmad Syubbanuddin Alwy, untuk dua porsi gulai ikan kakap, kami dikenai harga Rp 111.000,00. Ini tentunya tak berlaku bagi mereka yang berkantung tebal.
Selain objek wisata seperti Pantai Base G, Danau Sentani, Taman Budaya Papua. Pasar Hamadi adalah tempat yang tak bisa begitu saja dilewatkan untuk mendapatkan cenderamata khas Papua. Tapi jangan bayangkan bahwa Pasar Hamadi adalah sebuah pusat cenderamata di Jayapura bagi para pelancong.
Ternyata, tempat itu adalah pasar tradisional dengan beberapa toko yang khusus menjual cenderamata. Dari mulai patung, topeng, kapak batu, panah, lukisan kulit kayu, koteka, kantong-kantong yang terbuat dari jaring tumbuhan, tifa dengan berbagai ukuran, dan benda budaya berbagai suku yang ada di Papua.
Sayang sekali, infrastruktur pariwisata di kota ini kurang memadai untuk memanfaatkan serta mengelola aset yang dimilikinya. Termasuk untuk menyediakan sebuah pusat cenderamata sekalipun. Padahal, dengan kekayaan dan keragaman budaya serta keelokan alamnya yang eksotis, Jayapura bisa menjadi tujuan pariwisata terpenting di kawasan Indonesia Timur. Dan agaknya, inilah yang selalu membuat Jayapura terlupakan.(Ahda Imran)*** (Sumber: www.pikiran-rakyat.com)
0 comments:
Posting Komentar